Beberapa jam setelah usai pengumuman ujian SOCA |
Bulan Agustus lalu bagi kebanyakan mahasiswa se-angkatan saya, mungkin menjadi bulan liburan akhir semester 6, atau ada yang sudah kembali masuk di semester 7, atau ada yang sibuk mempersiapkan Kuliah Kerja Nyata, atau banyak lain-lainnya. Saya termasuk yang pertama. Ditambah belajar mandiri untuk mempersiapkan ujian SOCA di awal September.
Kalau kata senior-senior saya yang sudah pernah merasakannya,
"Proposal mah kalian gausah takut deh. SOCA tuh, baru."
"Diantara keempat ujian itu ya, SOCA paling susah, emang."
"Ya semoga aja dapet penguji yang baik ya di SOCA."
Untuk persiapan ujian SOCA itu saya belajar mandiri bukan berarti benar-benar hanya belajar seorang diri. Tiga teman saya di foto di atas, hanya beberapa dari orang yang belajar berjuang bersama-sama dari pagi hingga lewat tengah malam, dari rumah teman yang satu ke rumah teman satunya, dari kedai minuman bubble di samping minimarket ke tempat makan makanan Jepang. Tentunya diselingi obrolan-obrolan dan candaan-candaan receh, hehehe. Sayangnya memang tidak ada foto lengkap saya bersama mereka semua. Huhuhu.
Spesialnya SOCA. Baru di ujian SOCA ini rasanya, orang-orang menjadi ingin tahu seingin tahu nya setiap detail hal yang berhubungan dengan apa yang sudah dipelajari selama 3 tahun kebelakang. Orang-orang menjadi lebih tepat waktu solat, tidak seperti biasanya, he he, dan banyak menengadahkan tangannya berdoa untuk kelulusan ujiannya.
Saya masih ingat betul. Ketika saya mengambil undian nomor kasus yang akan diujikan, tangan saya mencoba untuk tidak memperlihatkan gemetar yang sebenarnya ada, dan segera menandatangani absensi secepat mungkin agar gemetar itu tidak terlihat. Walaupun akhirnya, jadinya tanda tangan saya terlihat lebih keriting daripada biasanya. Ya itu saya, mencoba untuk terlihat tetap tenang, padahal dalam hati rasanya ingin meledak. Hehe berlebihan, ya. Sampai akhirnya, tanpa ada perasaan atau prasangka apa-apa sebelumnya, saya mendapatkan kasus dengan penguji yang Alhamdulillah mengantar saya pada hasil pengumuman lulus. Alhamdulillah:')
Ada sedikit cerita tentang teman saya.
Saat saya dan satu teman satu kloter ujian saya sudah keluar ruangan dengan kertas pengumuman di tangan, ada teman saya yang masih menunggu pengumuman. Belum pernah saya melihat mukanya sepucat itu. Dia pesimis, sangat-sangat pesimis, dengan hasil pengumuman yang akan diterimanya. Kasus yang didapatnya justru 1 kasus yang tidak terlalu ia pelajari dari 9 kasus lainnya yang lebih ia kuasai. Terlebih lagi, dosen penguji teman saya tersebut cukup terkenal "ketat" dalam memberi nilai. Saya dan satu teman saya yang berjalan melewatinya hanya bisa merangkul dan menenangkan. "Berdoa aja, Pink. Yang bisa lo lakuin sekarang kan cuma banyakin doa. Masih ada kemungkinan, kok." Tidak lama setelah itu, di ruang pengisian kuesioner, teman saya tadi masuk, lalu menempelkan kertas kuesioner didepan mukanya dengan tangis haru. "Baik banget, Dokternya. Gue lulus."
Tidak lama teman saya yang masih dalam satu kloter ujian, masuk juga dengan muka bahagia tapi juga bertanya-tanya. Bahagia tentunya karena hasil ujiannya lulus. Bertanya-tanya karena ketika ia baru keluar ruangan ujian ia bertanya pada Bapak petugas ruangan. "Pak, anak-anak yang kloter ini ada yang gak lulus gak?" "Ada, Dek. Itu, yang ruang 10." "Hah, Pak, jangan bercanda. Itu ruangan temen saya (teman saya yang tadi menangis haru)." "Loh, beneran kok, Dek"
*dan ternyata Bapak tersebut mengira teman saya yang menangis tadi karena menangis tidak lulus. Heu.*
Intinya sih, pelajaran yang saya ambil dari segelintir cerita di atas. Kata-kata yang sudah lama juga pasti kalian sudah pernah dengar. Entah kalian menganut ini atau tidak, bahwa : Doa bisa mengalahkan segala kemungkinan yang terjadi. Keberuntungan bisa didapatkan dari seucap doa (dibarengi usaha, pastinya). Dan lagi-lagi dengan doa, kita dibuat mengingat untuk selalu membutuhkan bantuanNya.
Sekian.
Selamat datang penelitian.
Sampai jumpa OSCE dan skripsi.